Jumaat, 11 September 2009

Hasan Aspahani menulis Inspirasi dari Kennedy

Tags

John F.Kennedy mungkin merupakan Presiden Amerika yang paling terkenal. Masih ingat kata-katanya. "Jangan tanya apa yang negara sumbangkan kepada anda tetapi tanyalah apa yang anda sumbangkan untuk negara". Kata-kata ini sampai sekarang sering diucapkan orang sehingga mereka terlupa bahawa orang yang mula-mula mengucapkan kata-kata itu ialah John F.Kennedy.

Sahabat saya dari Batam, Hasan Aspahani, pemimpin redaksi Batam Pos menulis inspirasi dari Kennedy dalam artikelnya yang amat menarik ini.


Inspirasi dari Kennedy


Oleh Hasan Aspahani
Pemimpin Redaksi Batam Pos



Kita perlu pemimpin yang bermartabat, yang membangun martabatnya dengan cara-cara yang bermartabat. Dan ia juga mampu mengangkat martabat negeri yang ia pimpin.

Dia mungkin tidak sempurna, tapi mereka yang dipimpin oleh pemimpin seperti itu, terus mengenangnya dengan kebanggaan yang tak habis-habis. Kita merindukan pemimpin seperti itu.

Kita pernah punya Soekarno. Dia dalam banyak hal terus kita kenang dengan bangga. Soekarno pasti tidak sempurna, tapi dia membuat Indonesia disegani dan diperhitungkan dalam percaturan pergaulan bangsa-bangsa di dunia.

Amerika pernah punya seorang John Fitzgerald Kennedy alias JFK. Empat dekade setelah kematiannya, tak ada satupun presiden sesudahnya dan sebelumnya yang mengalahkan popularitasnya, dan tak ada presiden yang lebih dicintai daripada dia. Seorang pensiunan perang Vientam yang harus bekerja sebagai penggali kubur, membawa pulang rumput dari tanah yang ia gali di lahan tempat Kennedy dimakamkan. Penggali kubur itu – yang rela bekerja dengan bayaran murah di hari minggu - berulang kali menyebut bahwa pekerjaan itu adalah sebuah kehormatan baginya.

Cobalah iseng membongkar-bongkar tumpukan di kedai penjual poster di tepi jalan. Di sela-sela Iwan Fals, Ungu, Eminem, Nirvana, atau Afghan, tak susah menemukan poster John F Kennedy. Saya lihat di dalam beberpa poster itu dia ada bersama Soekarno.

Sedemikian sempurnakah JFK? Tidak, di poster-poster itu, tak akan pernah terlihat fotonya, di mana dia harus berjalan tertatih-tatih dengan kruk, akibat cacat permanen yang dialaminya sebelum Perang Dunia II. Di lingkungan pribadi, dia sesekali memang harus bergerak dengan tongkat penyangga itu, agar beban cidera di punggungnya tak semakin menyiksa.'


Dia juga divonis menderita penyakit Addison - semacam gejala kurang darah akibat produksi hormon kelenjar anak ginjal yang tak normal. Penyakit ini pernah tiga kali nyaris membunuhnya, dan sepanjang hidup hari-harinya terganggu oleh penyakit ini.

Bagaimana JFK bisa mengatasi semua itu dan berhasil tampil nyaris sempurna? Sebegitu hebatkah ia bisa menutupi kelemahan itu? Ini semata-mata sebuah kekuatan pribadi yang terlatih. Ia tak mau dikasihani, sebab begitu tebalnya rasa angkuhnya. Keangkuhan yang juga menginpirasi.

Kualitas pribadi itulah yang menentukan sehingga ia sangat tahu mengukur kemampuannya - di tengah telikung kelemahan-kelemahannya - dan menginginkan sesuatu untuk dicapai dengan kemampuan itu. Lalu ia mengatur langkah untuk mencapai apa yang dia inginkan itu. Semua dilakukan dengan cara-cara yang tak pernah dilakukan oleh pemimpin lain sebelumnya.

Bagian dari proses menjadi seorang pemimpin, tulis John A Barnes dalam buku "John F Kennedy on Leadership" (PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2009), adalah jangan mengikuti segala sesuatu secara membabi buta. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mengevaluasi "cara mengerjakan sesuatu" dan menetapkan apakah cara itu merupakan cara yang seharusnya untuk mengerjakan sesuatu.

"Bila perlu, seorang pemimpin tidak takut menantang status quo atau memulai sebuah cara baru," kata Barnes. Dan itu yang dilakukan JFK.

Ia memulai karir politik dengan mengincar kursi anggota kongres. Pada saat dia mencalonkan diri untuk posisi itu, dia adalah anak bawang. Tak ada pengalaman politik apa-apa. Langkah ini membuatnya ditertawakan. JFK tak peduli. Dia bangun mesin politik sendiri di luar partai. Dulu, ini sungguh tidak lazim. Tapi, sekarang? Tak ada politisi yang tak menempuh jalur ini, sadar atau tidak, mereka telah menempuh langkah yang dimulai tradisinya oleh JFK.

Ia juga mulai mengumumkan hasratnya menjadi presiden sangat dini. Ini juga tidak lazim dan waktu itu. Bisa jadi lawan dan kawan politiknya menganggap dia kebelet berkuasa. Tapi, JFK benar-benar melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Tahun 1958 dia sudah menyebut diri sebagai calon presiden. Padahal baru pada tahun 1960, dia secara resmi mendeklarasikan pencalonan itu. Terlampau dini? Tak hanya itu, ini juga pada masa itu dianggap tidak sopan dan tidak masuk akal.

Kalau sekarang kita menyaksikan siaran langsung di televisi, di mana seorang presiden bertanya jawab langsung dengan wartawan dalam jumpa pers, rasanya itu biasa-biasa saja. Padahal, dulu ketika sebagai presiden, JFK-lah yang melakukannya untuk pertama kali, dan ini tentu mendobrak tradisi siaran dan kepresiden di negaranya, dia dianggap melakukan hal yang bodoh.
Dia juga yang merombak desain ruang pesawat kepresidenan. Dia undang perancang industri untuk mengganti warna cat pesawat dan meresmikan nama pesawat itu menjadi Air Force One.

Hal-hal tadi, kini tampak seperti sesuatu yang remeh, bukan? Tapi, kita memerlukan orang pemimpin seperti JFK, yang pada saat yang tepat berani melakukan hal-hal yang oleh orang awam dianggap ganjil, aneh, tak masuk akal, bahkan dianggap bodoh, tetapi kemudian itu terasa sebagai sebuah hal yang lazim.

***


Ya, kita perlu pemimpin yang visioner. Kita melihat itu juga ada pada JFK. Dengan sangat kuat ia paparkan visinya pada pidato pertamanya saat ia dilantik sebagai presiden.

Visi adalah "gambar besar" apa yang ingin dicapai, diciptakan, dan dilakukan. JFK memaparkan visi besarnya itu hanya dalam sebuah pidato 14 menit, naskahnya cuma berisi 1.355 kata. Kira-kira satu setengah kali panjang naskah kolom ini.

Menghadapi perang dingin dengan Rusia, JFK membesarkan hati bangsanya dengan kalimat kuat: "...Janganlah pernah bernegosiasi karena kita merasa takut. Tetapi janganlah pula kita merasa takut bernegosiasi."

Dan tentu saja kalimat yang amat terkenal itu, kalimat yang tidak hanya menggugah Amerika, tapi menginspirasi seluruh manusia di dunia: "Jadi, saudara-saudara sebangsaku: Janganlah bertanya apa yang dapat dilakukan negerimu untukmu; tanyakanlah apa yang dapat kamu lakukan untuk negerimu!

Pidato Kennedy itu, tulis Barnes, menjadi "standar emas" untuk menilai pidato kepresidenan di Amerika.

Karena "ingin berbeda", ada presiden Amerika memberi contoh lain, dia secara terbuka menertawakan "soal-soal visi" dan menganggap dia bisa bekerja tanpa itu. Presiden itu George Bush namanya. Amerika akhirnya sadar tanpa visi yang bisa "dipegang" akibatnya sangat terlambat untuk tahu bahwa pemimpin itu adalah orang yang salah.

Sekarang tahukah kita, apa visi dari para pemimpin kita itu saat ini? Jangan-jangan kita hanya seperti memberi cek kosong pada mereka, tanpa pernah tahu (apalagi menagih) kepercayaan yang kita berikan itu mereka pakai untuk apa saja! ***