Sabtu, 17 April 2010

Catatan di Pantai Tamau

Tags

Entah mengapa tiba-tiba mereka bertanya tentang bintang.

Malam itu memang gelap dan bintang-bintang di angkasa berkerlip dengan teramat cantiknya.

Kami berempat sedang menyusuri Pantai Tamau untuk mencari `karepa-repa'.

"Bila saudara pulang? Di kampung kita sekarang, musim karepa-repa," kata Kadi A Maitu kepada saya melalui facebook beberapa hari yang lalu.

Saya sudah sangat lama tidak ke pantai untuk menangkap karepa-repa. Karepa-repa atau dalam bahasa Melayunya, ketam suri telah menarik ratusan orang ke Pantai Tamau iaitu pantai yang terpanjang di Kota Belud. Pabila tiba musim karepa-repa, Pantai Tamau seolah-olah berpesta.

Jadi pada malam itu, saya mengajak Amai Shafiq, Ineng dan Amai Shukri ke pantai yang sudah lama tak sempat saya kunjungi.

Sesampainya di sana , sudah ramai orang yang berkumpul di tepi pantai untuk menunggu nelayan pulang.Kadang mereka membawa karepa-repa hingga setengah perahu, dan karepa repa itu diagihkan kepada mereka yang telah lama menunggu atau kepada mereka yang telah siangsiang hari menempahnya.

Sebenarnya kami hanya ingin membeli karepa-repa, yang khabarnya hanya 20 sen hingga 30 sen seekor.Tetapi kerana terlalu ramai orang, kami hanya sekadar melihat orang-orang berebut karepa-repa.

Kalau dahulu, jika musim karepa-repa tiba, Orang-orang kampung membawa `lampung pam' iaitu lampu untuk menyuluhi karepa-repa yang merapat sedikit ke tepi pantai. Tetapi kini hanya mereka yang punya perahu saja dapat menangkapnya.

Tapi malam itu, kami hanya berjalan jalan menyusuri pantai. Sudah lama tidak merasai hembusan bayu laut seperti itu. Ombak yang berpecahan dan suasana malam yang nyaris membuat saya larut dalam kenangan.

Saya mengajak mereka pulang, setelah kami tidak ingat lagi nama-nama bintang.