Sabtu, 21 Ogos 2010

Tentang dua pertemuan di Jogja

Tags


Oleh ABD.NADDIN HJ.SHAIDDIN
abdnaddin@yahoo.com

Lies Soca sudah menunggu ketika kami tiba di Malioboro Inn selepas menonton Sendratari Ramayana di Candi Prambanan.
Dia agak terkejut juga ketika saya memberitahu bahawa ketika itu-5 Ogos 2010-kami sedang berada di Jogja untuk satu misi lawatan yang diaturkan KJRI Kota Kinabalu.
"Mari kita cari warung kopi," saya mengajak mbak Lies dan Aan (Anningtyas) menyusuri Jalan Sosrowijayan. Meskipun jam 10.00 malam di Jogja tetapi masih terasa nadi kota itu terus berdenyut.
Kedai kedai sepanjang jalan dipenuhi pelancong Eropah. "Ramai sekali orang bule ya". Disana mereka menyebut orang putih dengan orang bule.
Akhirnya kami menemui warung kopi. Kami sengaja duduk di sudut kedai supaya kami dapat bercerita panjang mengenai kegiatan seni di kota kesenian itu.
Lies, 27,seniman Jogja itu aktif di teater. Ketika itu, Lies sedang aktif menjalani latihan monolog di Sanggar Bagong. Selain teater, Lies juga menulis puisi dan kini sedang cuba menulis cerpen. Sementara Aan, 31, kini kembali semula bergiat di teater. Kepada mereka, saya ceritakan sedikit sedikit mengenai perkembangan sastera di Kota Kinabalu. Saya membayangkan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan kerjasama antara seniman Jogja dengan penggiat sastera di Sabah untuk mengadakan semacam program pementasan puisi atau monolog di Kota Kinabalu. Jogja memang terkenal sebagai kota para seniman, budayawan dan sasterawan Indonesia. Saya teringat Umar Kayam, seorang budayawan dan cerpenis yang banyak saya baca cerpennya. Emha Ainun Najib, Darmanto Jt, Linus Suryadi AG, Nirwan Dewanto, manakala yang lebih muda Saut Situmorang,Raudhal Tanjung Banua,Asma Nadia,Ndika Mahrendra, dan ramai lagi.
Saya teringat juga penyanyi Ebiet G.Ade yang mula menyanyi di Jogja.
Pertemuan itu terasa akrab. Percakapan kami meloncat dari satu ke satu topik. Dari kegiatan teater, filem ke dunia buku. Kebetulan Aan sedang membaca novel Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas karya Andrea Hirata. Saya juga membeli buku itu di Jalan Sabang Jakarta.
"Datanglah ke Sabah, buat pementasan di sana," saya berkata kepada Lies dan Aan sebelum kami berpisah pada malam itu. Semoga kedatangan mereka kelak dapat memperluaskan cakrawala kesenimanan mereka dan hubungan seniman Malaysia dan Indonesia dapat diperkukuhkan lagi.
*************************************************************
Saya terharu dengan kesanggupan Kirana Kejora, seniman dari Jakarta yang ketika itu sedang berada di Surabaya untuk datang ke Jogja. Lulusan Cumlaude Fakulti Perikanan Universiti Brawijaya itu, entah mengapa terjun dalam dunia sastera dan kini sudah menghasilkan empat buku iaitu Kepak Elang Merangkai Eidelwies, Selingkuh, Perempuan & Daun dan yang paling banyak mendapat sorotan novelnya Elang.
Kami memilih untuk berjalan kaki menyusuri Jalan Malioboro untuk menikmati kopi arang di Angkringan Kopi Joss sambil lesehan.Lesehan bermakna duduk di bawah.
"Pakcik! Pakcik!, " tiba tiba saya terdengar suara memanggil saya. Bagi mereka panggilan pakcik itu ditujukan kepada orang dari Malaysia.Rupanya Lies dan Aan baru pulang dari Taman Budaya dan terserempak dengan kami.
Saya memperkenalkan mereka kepada Kirana dan kami sempat merakamkan gambar di pinggir jalan itu sambil Kirana menghadiahkan empat bukunya kepada saya. Lies dan Aan tidak turut serta minum di Angkringan itu kerana mereka sedang dalam perjalanan pulang.
"Ini betul-betul salah satu keunikan Jogja," saya berkata sambil duduk bersila di pinggiran jalan sambil minum kopi, yang dikatakan bercampur dengan arang.
"Kalau menjelang pagi, banyak seniman Jogja datang ke sini," kata Dian Mardiana. Dian kini sedang menyiapkan lagu untuk dinyanyikan dan saya sempat mendengarnya. Sangat puitis dan menyentuh. Saya yakin Dian mampu pergi jauh dalam dunia nyanyian
"Bang, Abidah El Khaliky penulis Perempuan Berkalung Sorban itu tidak dapat datang," kata Kirana yang mesra dipanggil Key. Pada mulanya, ramai teman-teman dari Jogja ingin serta dalam pertemuan itu. Saut Sitomurang juga tak dapat dihubungi.
"Aku lebih nyaman disebut penulis, bukan sasterawati. Besar di Surabaya, Jawa Timur, mulai produktif dan kreatif, setelah berbagai badai dahsyat mendera dalam perjalanan hidup di saat berkepala tiga. Beberapa artikel tentang kisah sejati, psikologi anak orangtua, kesihatan, hukum, kehidupan metropolis belia Surabaya, dan cerpen dewasa banyak termuat di beberapa media cetak selain aktif menulis skenario serial Jawa Pos TV di tahun berkepala 2000," katanya.
Katanya, beliau baru `benar-benar menulis dengan sungguh-sungguh' sesudah usianya memasuki tiga puluhan.
Sebelum ini, tulisan-tulisannya hanya tertuang dalam buku harian sejak usianya 9 tahun yang masih tersimpan di Sidoarjo.
"Belajar dengan guru alam, kerana orang tua sama sekali tak menginginkan anaknya jadi penulis, sasterawan, atau semua pekerjaan yang berbau seni. Menjadi seniman adalah sebuah pekerjaan tanpa hasil materi, tak jelas, tak punya masa depan, buang-buang energi, itu kata beliau dulu.", katanya.
Sehingga akhirnya Kirana memilih sesuatu yang bukan pilihannya tetapi pilihan orang tuanya iaitu menjadi insinyur perikanan yang lulus cumlaude dari Universitas Brawijaya Malang.
"Seni menulis adalah ubat jiwa yang telah menghidupkan jasadku yang mau mati, Katanya.
"Setelah menulis jadi darah daging, maka aku bisa hidup dari menulis. Dari buku dan skenario-skenario filemku.
"Bagiku puisi, cerpen, novel dan skenario film adalah sebuah lingkaran seni tulis yang saling menghidupi.
"Puisi bisa jadi cerpen, cerpen bisa jadi novel, dan novel bisa jadi sebuah film. Begitupun sebaliknya. Ibarat asal muasal telur dan ayam, mana yang lahir terlebih dahulu di muka bumi ini?
Kirana Kejora lahir di Ngawi, tahun 1972. Beliau pernah Peneliti Sosial Ekonomi Perikanan Universiti Brawijaya, Staf Pengajar SMK Perikanan Dipasena Citra, Darmaja Lampung,Staf Ahli Sosial Ekonomi projek Management Monitoring Consultant JBIC-DPK di Sulawesi Tenggara,Staf Pengajar pada Univ. Hang Tuah Surabaya , Wartawan tabloid Infotainment Fenomena, wartawan freelance Delta Pos dan Supremasi Hukum, Sekretaris Direktur PT. Intrada Buana Makmur dan kini Kirana menjadi penulis sepenuh masa.
Beliau pernah mewakili Indonesia sebagai Pemakalah dan Pemuisi untuk Seminar Wajah Kepengarangan Muslimah Nusantara 2009 di Kuala Lumpur.
Selain itu, Kirana juga aktif menulis skenario film Kos X (lapan episod di Jawa Pos Tv), Embong Malam (Jawa Pos TV) manakala dia Astro TV, antaranya Kabut Hati, Selma, Lilin Kecil, Selamat Jalan Kekasih, Malam Pertama, Anak Jalanan, Kidung, Kala Cinta Menggoda, Cinta,Surya, Menunggumu, Marlina, Merpati Putih, Call Us Jayus, Cinta Kembar, Musik Noni, Kidung Cinta Sejati, Kembalikan Cintaku, Beri Aku Waktu, Warnet Cinta, Cintaku Saat Maghrib Tiba, Ketika Ku Bersujud, Ustadzku Sayang, Saat Tuhan Memberi Dia Cinta, Kemana Ku Akan Pergi, Kalau Jodoh Tak Lari Kemana, Pagi Sayang, Sahabatku Sayangku, FTV “Lelaki Penjaga Kereta” di Metro TV manakala untuk filem layar lebar,Ketika Cinta Memilih, Hidup Itu Beautiful, Munajat Cinta Sang Gibran, Hasduk Berpola.
Minum kopi dengan lesehan di Angkringan Kopi Joss agaknya sudah menjadi sinonim dengan Jogja. Kopi arang, yang memang dicampurkan dengan arang, terasa nikmatnya. Apatah lagi, Kirana sempat membeli pisang goreng dan kami merasa persahabatan sesama seniman terasa lebih akrab dan murni. Malam sudah larut ketika kami melintasi jalan keretapi tidak jauh dari tempat itu.