Saya tertarik dengan tulisan Chik Rini, mantan Wartawan Majalah Pantau. Menurut Chik Rini, ini merupakan tulisan terakhirnya yang disiarkan majalah itu. Bagi saya ini merupakan satu lagi artikel menarik genre Jurnalisme Sasterawi, yang menggabungan fakta dan kehalusan bercerita seperti yang biasa kita temui dalam novel. Chik Rini, sudah tentu mengambil masa yang cukup panjang untuk menghasilkan artikel yang sungguh menarik ini. Mari kita sama sama membacanya.
ANTARA MAMAK,AMRU DAN BEKAS KESATUANNYA
Oleh Chik Rini
http://www.chikrini.blogspot.com/SEBELAS tahun lalu Rosma boru Hasibuan lega melihat putera sulungnya muncul di ambang pintu. Baju pemuda tanggung itu dekil. Di tangan kanannya ada sebungkus pecal yang tadi dibelinya di pasar. Amru Daulay berkelahi lagi dengan anak-anak kampung tetangga.
Rosma mendengar Amru berkelahi dari si bungsu Razali Daulay. Kata Razali, sang abang dikeroyok beberapa anak kampung Payah Roba, dekat rel kereta api yang membatasi Payah Roba dan Limau Sunde, kampung keluarga Daulay. Perkampungan itu letaknya tak begitu jauh dari pusat kota Binjai --sebuah kota ukuran sedang sekitar 22 kilometer barat Medan, Sumatera Utara.
Tadinya Amru dan Razali naik sepeda berboncengan untuk membeli pecal. Mereka dicegat sekelompok anak yang bermusuhan dengan Amru. Razali kecil pulang awal. Abangnya mengatakan, “Kau pergi selamatkan sepeda kita ini. Biar aku hantam mereka!”
Amru tak terluka, tapi menurut Rosma kepada saya belum lama ini, Amru kalah dalam perkelahian tak berimbang itu, pun begitu masih sempat pula dia membeli pecal untuk lauk mereka sore itu.
Amru dan Razali cuma dua bersaudara. Ayah mereka Sangkot Daulay, seorang penjual ikan atau terkadang membawa becak mesin. Rosma lebih besar penghasilannya. Dia punya gaji sebagai guru dan punya kebun coklat serta pisang setengah hektar.
Sejak sekolah dasar Amru sering berkelahi. Meski nakal di luar rumah, Amru lebih patuh pada ibunya ketimbang Razali yang cenderung manja. Amru gampang terpengaruh teman. Dia tidak menolak jika diajak berantem dengan anak-anak lain. Atau membolos sekolah teknik menengahnya untuk jualan ikan tanpa sepengetahuan orangtua. Keinginan Amru paling besar adalah jadi orang kaya.
Dalam kekesalannya, Amru pernah berkata pada ibunya, “Aku Mak, kalau tamat STM nih, aku masuk tentara saja. Biar orang tak sembarangan lagi sama aku dan keluarga kita.”
Kini Amru Daulay memang berhasil jadi tentara dengan pangkat sersan dua di Bataliyon Lintas Udara (Linud) 100/Prajurit Setia (PS) yang bermarkas di Namu Sira-Sira, Binjai. Dia komandan regu pada Kompi Senapan A dengan anak buah sembilan orang
Bataliyon Linud 100 merupakan pasukan pemukul Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan yang bermarkas di Medan. Pasukannya mempunyai spesialisasi menyerang musuh dari udara. Mereka menyergap dengan cara terjun melalui helikopter atau pesawat. Mereka dianggap pasukan elit karena kemampuan tempurnya tinggi. Jumlah pasukannya sekitar 700-an personil. Nama “Prajurit Setia” diartikan sebagai bentuk kesetiaan mereka pada nusa dan bangsa.
Amru selalu membanggakan kemampuan menembaknya. Tapi keterlibatannya dalam peristiwa memalukan 30 September lalu justru mengakhiri karir tentaranya. Dia dan 19 temannya mendekam di rumah tahanan militer Medan.
Sersan Dua Amru Daulay bersama ratusan prajurit Linud 100, pada Minggu dini hari itu, menyerang markas polisi resort (polres) Binjai dan brigade mobil (brimob) Binjai. Beda dengan perkelahian kampung, kali ini Amru justru mengeroyok polisi dalam sebuah aksi bak perang sungguhan. Menurut jurubicara Kodam Bukit Barisan Letnan Kolonel Nurdin Sulistyo, dalam pertikaian tak berimbang itu, empat anggota Brimob, dua polisi, satu tentara dari Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) dan tiga warga tewas. Puluhan lainnya luka-luka.
SABTU 28 September lalu adalah hari ulang tahun pertama Ayu Daulay, putri satu-satunya Amru Daulay dan Nur Asiah, perempuan berusia 23 tahun yang dinikahi Amru tiga tahun lalu. Tak ada pesta, kecuali acara potong kue dan doa selamat dari kedua keluarga mereka yang berkumpul di rumah mertua Amru di Payah Roba.
Amru baru seminggu kembali dari kursus militer di Pematang Siantar. Tiga minggu dia meninggalkan keluarganya. Ini hal biasa bagi seorang tentara untuk pergi jauh untuk tugas. Antara 1999-2000, saat umur Ayu tiga bulan, Amru pergi ikut operasi militer setahun di Aceh. Ketika pulang, putrinya sudah bisa berjalan. Amru bahkan tak sempat melihat Sangkot Daulay meninggal.
Malam itu juga ada pesta pernikahan salah seorang anggota Bataliyon Linud 100 di Pasar Sepuluh, Tandem, sebuah kawasan pinggiran Binjai. Banyak tentara, termasuk Amru, datang dan bergadang hingga larut malam, menikmati hiburan musik keyboard.
Di tengah pesta Amru mendengar kabar Prajurit Satu Abdul Rahmat dan Prajurit Satu Hilman ditembak polisi. Keduanya teman satu kompi Amru. Menurut Amru Daulay dalam wawancara dengan saya di penjara militer, keduanya dikabarkan kritis bahkan diisukan tewas. Kebanyakan tentara yang ada di pesta itu marah. “Masak kita diam saja teman kita ditembak polisi? Dimana harga diri kita?”
Polisi dan tentara biasa ribut, bukan saja di Binjai, tapi di banyak tempat di seluruh Indonesia. Di Binjai kejadian itu juga bukan yang pertama. Sebelumnya seorang anggota Linud dikeroyok lima Brimob karena rebutan perempuan. Keributan juga pernah terjadi di sebuah kafe karena urusan judi togel dan obat terlarang. Keributan-keributan kecil ini, walau tak berbuntut panjang, toh menimbulkan kekesalan dan sentimen antar korps.
Abdul Rahmat teman baik Amru. Mereka berteman akrab sejak pangkat Amru masih prajurit rendahan. Mereka tinggal di barak lajang dan sama-sama merasakan kerasnya latihan militer. Mereka juga merasakan ketegangan antara hidup dan mati saat baku tembak dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka.
Malam itu, Amru memutuskan pulang ke rumahnya di asrama Linud, tanpa menjemput istri dan putrinya, yang tertinggal di rumah mertua. Dia gusar mendengar kawannya ditembak polisi.
SABTU pagi, atau 12 jam sebelum pesta Pasar Sepuluh, sekelompok pemuda meneror tiga rumah yang terletak di samping komplek perumahan mewah Great Wall Binjai. Para pemilik rumah itu bersengketa dengan perusahaan perumahan Great Wall. Logikanya, mereka tak bersedia pindah karena tak sepakat dengan harga ganti rugi. Pemuda-pemuda itu anggota organisasi kepemudaan Angkatan Muda Pembaruan Indonesia, sebuah onderbouw Partai Golongan Karya. Mereka melempari rumah dan mengobrak-abriknya hingga rusak berat.
Si pemilik rumah mengadu ke polisi dan menuduh Great Wall sebagai dalangnya. Polisi bertindak dan menangkap empat orang pelaku: Alan, Zul Irham, Imul, dan Marwan Rangkuti.
Marwan Rangkuti ditangkap di sebuah warung minuman, di simpang Rambung, pada Sabtu sore. Simpang Rambung ini merupakan persimpangan jalan menuju markas Bataliyon Linud 100. Warung sederhana itu sering dijadikan tempat mangkal anak-anak muda, untuk ngobrol sampai mabuk-mabukan.
Sabtu sore sekitar pukul enam, satu regu polisi dengan mengendarai mobil Daihatsu Taft dan Toyota Kijang datang menangkap Marwan Rangkuti. Prajurit Satu Abdul Rahmat kebetulan ada di sana. Marwan kawan Abdul Rahmat.
Dalam dakwaan jaksa militer pada persidangan Abdul Rahmat dan kawan-kawan di Mahkamah Militer Medan, 6 November lalu, disebutkan terjadi perselisihan ketika Marwan ditangkap. Abdul Rahmat spontan mendatangi polisi, “Ada apa ini Bang?”
“Ini urusan polisi!” jawab salah seorang polisi.
“Saya juga anggota. Dari Linud. Apa masalahnya?”
“Nggak ada Linud-Linud disini. Mau kupanggil Brimob?” hardik polisi Brigadir Satu Handoko.
Handoko, salah seorang serse Polres Binjai. Dia tanpa basa-basi langsung mengeluarkan pistol dan melepaskan tembakan ke udara
Abdul Rahmat lari dengan sepeda motornya. Dia merasa marah karena merasa diremehkan. Dia pulang ke bataliyon mencari sejumlah teman dan mengajak mereka mendatangi polisi yang menangkap Marwan.
Pukul 20.30 dengan naik lima sepeda motor, Abdul Rahmat dan sembilan anggota Linud mendatangi Polres Binjai. Kantor polisi tak begitu ramai karena sudah malam tapi sejumlah serse dan polisi jaga masih ada di sana.
Abdul Rahmat dan empat temannya masuk. Lima lainnya menunggu dekat pos jaga. Mereka berpakaian biasa dan membawa senjata pisau.
Kedatangan mereka memicu kegaduhan. Mereka mencari Handoko. Tapi Handoko tak ada. Polisi lain berkeluaran dari ruang kerja mereka.
Seorang anggota Linud berteriak, ”Mana kawan kami? Keluarkan si Marwan.”
Marwan ada dalam sel. Malam itu dia ditahan karena dalam pemeriksaan, polisi juga menemukan sembilan butir pil ecstasy dalam saku celananya. Alan, Imul dan Irham sudah dilepas beberapa jam sebelumnya.
Terjadi adu mulut dan semua berlangsung cepat hingga salah seorang tentara menyambarkan pisaunya ke tangan Inspektur Dua Haris Simbolon, seorang anggota serse yang mencoba menghalangi rombongan itu membebaskan Marwan.
Mendengar ribut-ribut, kepala satuan serse Ajun Komisaris Polisi Togu Simanjuntak keluar dan mendatangi sekelompok tentara yang sedang marah-marah itu.
“Dari mana kamu?” tanya Simanjuntak marah sambil memukul Abdul Rahmat hingga jatuh.
Rahmat marah dan mencabut pisau yang terselip di pinggangnya.
Simanjuntak tak kalah gertak, cepat menyambar pistol. “Nanti kutembak kau,” ancamnya.
Abdul Rahmat justru mengayunkan pisau ke kepala Simanjuntak. Daun telinga kiri Simanjuntak tersabet hingga nyaris putus. Simanjuntak melepaskan tembakan ke arah kaki dan dada Rahmat. Dia roboh ke tanah. Polisi lain beramai-ramai menendang dan menginjak tubuh Rahmat hingga babak belur. Kedua kakinya patah dan giginya copot.
Melihat Rahmat jatuh, Prajurit Satu Hilman berusaha menolong, tapi salah seorang polisi menembak lutut kirinya dari belakang. Hilman jatuh tapi bisa melarikan diri bersama teman-temannya. Polisi mengejar mereka sambil menembakkan pistol. Peluru kedua bersarang di paha kanan Hilman. Tak sanggup lagi berlari, Hilman roboh dekat markas polisi militer, yang berjarak sekitar 100 meter dari Polres Binjai. Sabtu malam itu, delapan tentara lain menyelamatkan diri entah ke mana.
SEPANJANG Minggu 29 September, markas Bataliyon Linud 100 tampak lengang. Kebanyakan prajurit, terutama yang lajang, berada di luar markas. Setiap Sabtu sore hingga Minggu malam, tentara di sana mendapat izin bermalam di luar markas.
Markas batalyon itu berada di desa Namu Ukur, kecamatan Namu Sira-Sira, sebuah daerah pinggiran yang penduduknya didominasi orang Karo dan Jawa. Namu Ukur berjarak 10,5 kilometer dari Binjai. Di sana banyak kebun sawit, kelapa, dan karet.
Markas Linud 100/PS dilengkapi dengan kantor, asrama tinggal, dan lapangan luas untuk latihan. Sekitar 700-an personilnya dibagi lima kompi: Kompi Senapan A, Kompi B, Kompi C, Kompi Bantuan dan Kompi Markas. Sekitar satu kompi pasukan Linud 100 saat itu sedang siap-siap berangkat melakukan operasi di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara.
Akibat keributan Sabtu malam, ada instruksi dari Kodam Bukit Barisan bahwa semua tentara tak boleh keluar markas tanpa izin. Amru Daulay mengatakan pada saya, sepanjang hari itu dia melihat melihat para tentara di markas Linud saling berkelompok di barak mereka, sibuk membicarakan peristiwa penembakan Abdul Rahmat dan Hilman semalam.
Mereka tak bisa menerima perlakuan polisi yang selama ini dianggap meremehkan korps mereka. Kebanyakan tentara Linud panas hatinya dan tak rela jika terus berdiam diri. Sebuah rencana pembalasan pun dilakukan. Amru sepakat dengan ide teman-temannya itu.
Seperti biasa, setiap Minggu pukul 21:00, seluruh prajurit melaksanakan apel untuk pengecekan pasukan pulang yang sebelumnya izin bermalam. Malam itu hampir semua prajurit ikut apel di halaman depan markas lengkap dengan pakaian loreng hijaunya.
Komandan Batalyon Linud 100/PS Mayor Infanteri Madsuni, yang diwawancarai sejumlah wartawan empat hari setelah peristiwa penyerangan bercerita, dalam apel itu dia memberi pengarahan pada ratusan anak buahnya tentang rencana pengiriman sekompi pasukan Linud ke perbatasan Aceh dua hari mendatang. Dia juga menjelaskan peristiwa yang terjadi di Polres Binjai dan memerintahkan pasukannya tak mengambil tindakan apa pun. Persoalan itu diselesaikan para atasan mereka. “Kalau merasa saya komandanmu, sebagai bapakmu, tolong ingat, jangan sampai ada anggota yang keluar tanpa perintah saya,” katanya.
Tak ada prajurit yang membantah perkataan komandannya. Mereka membubarkan diri. Sebagian ada yang kembali ke asrama mereka. Sebagian lagi bertahan dekat barak Kompi Senapan A. Dalam dakwaan oditur militer disebutkan para tentara itu bergerombol, membicarakan lagi rencana pembalasan itu. Mereka akan menyerang Polres Binjai malam ini. Mereka perlu senjata, tapi semua senjata di simpan di gudang.
Prajurit Satu Askar dan Prajurit Satu Syukir yang ada dalam kelompok itu berteriak, “Harus kita balas. Tidak betul kalau tidak kita balas.”
Sersan Dua Jalaluddin, seorang komandan regu Kompi Senapan A, paling bersemangat dengan rencana itu. Dia memberitahu Amru Daulay yang ikut berkumpul di situ, “Pasukan siap"
Mereka pun bergerak ke gudang senjata Kompi Senapan A. Lampu dipadamkan. Dalam keadaan gelap, mereka menyekap Sersan Satu Hasbullah, kurir yang bertugas menjaga gudang senjata. Kaki dan tangan Hasbullah diikat dengan tali pinggang. Kunci gudang diambil dari saku celananya.
Pintu gudang pun dibuka. Seratusan tentara menyerbu masuk berebutan mengambil senjata laras panjang secara serabutan: senapan serbu SS-1, senapan mesin buatan Israel Minimi, dan Grenade Launching Machine (GLM) lengkap dengan amunisi. Amru Daulay menyambar SS-1 dan mengambil 20 butir peluru.
Masih menurut oditur militer, Sersan Satu Jalaluddin melepaskan tembakan satu kali ke udara. Dia memerintahkan Prajurit Kepala Bahtiar, yang sedang piket, membunyikan alarm sira-sira.
Semua orang mendengar alarm itu mengaung-ngaung memecah kesunyian malam. Prajurit-prajurit yang sudah pulang ke asrama kelabakan kembali ke lapangan apel. Sebagian membuka gudang senjata di masing-masing kompi untuk mengambil senjata. Sudah peraturan, jika alarm sira-sira berbunyi, siapa pun prajurit dan di mana pun dia berada, harus segera berkumpul dengan pakaian dan senjata lengkap. Alarm itu jadi semacam genderang perang bagi mereka.
Hanya dalam hitungan menit, ratusan tentara bersenjata lengkap sudah berkumpul di lapangan. Ketika lampu kembali menyala, enam truk tentara sudah siap mengangkut pasukan. Menurut Mayor Madsuni, dia sempat kebingungan mendengar alarm sira-sira. Dipikirnya para prajurit hendak latihan. Tapi ketika melihat pasukannya sangat banyak, hampir dua kompi lebih, baru dia sadar. “Apa ini? Ada apa ini?” teriaknya melihat gudang senjata terbuka. Dia menghalangi sejumlah prajurit yang mengambil senjata. Tapi mereka tak bisa dibendung.
“Kalau Komandan tidak izin, silahkan tembak kami,” kata seorang prajurit kepada Madsuni.
“Selama ini kami disalahkan terus-terusan. Pokoknya kami tidak rela kawan kami ditembaki musuh.”
Madsuni tak bisa bergerak. Beberapa prajurit menyeretnya menjauh. Dia mencari beberapa perwira komandan kompi untuk membendung jalan keluar markas. “Oke, kita bendung di depan,” perintah Madsuni. Portal di mulut masuk markas ditutup tapi dijebol anak buahnya yang marah.
Keadaan tak terkendali lagi. Prajurit-prajurit itu brutal. Mereka bergerak spontan membentuk massa yang tak bisa dibendung. Tak jelas siapa memimpin siapa. Kebanyakan karena ikut-ikut kawan karena solidaritas. Mereka merasa bertindak benar karena berada pada posisi membela kehormatan korps Lintas Udara yang diremehkan polisi.
Pukul 22:15 truk pertama meninggalkan markas Linud. Disusul truk-truk lainnya. Jalan selebar lima meter itu menjadi ramai. Sebagian tentara yang belum terangkut berinisiatif jalan kaki. Sebagai pasukan tempur mereka punya kelebihan dalam hal infanteri, mampu berjalan sejauh 40 kilometer tanpa berhenti.
Amru Daulay yang berpakaian loreng lengkap dengan senjata ada di bak belakang truk Reo bersama 20-an kawannya. Tujuan mereka menyerang Polres Binjai. Sejumlah perwira mengejar dengan motor trail tapi tanpa hasil.
Malam itu sebanyak dua kompi gabungan, kebanyakan dari Kompi Senapan A dan Kompi B, bergerak ke luar markas. Jumlahnya tak bisa dipastikan, karena anggota kompi lainnya turut bergabung secara spontan. Mereka diangkut dengan enam truk militer plus satu truk pengangkut kelapa sawit yang kosong secara estafet. Mereka akan menyerang polisi. Peringatan bahaya segera disampaikan Batalyon Linud ke Polres Binjai melalui telepon.
Pukul 22:45 truk Reo yang ditumpangi Amru Daulay tiba di lapangan depan poliklinik militer di Simpang Bangkatan. Markas Polres Binjai hanya berjarak 100 meter dari situ. Tentara lainnya datang susul-menyusul. Tentara-tentara itu melompat dari truk dan segera menyusun strategi penyerangan. Ratusan tentara berkonsentrasi dekat Polres Binjai. Lainnya menyebar ke titik-titik tertentu dalam kota Binjai, dengan naik truk dan jalan kaki.
Binjai belum begitu sepi menjelang tengah malam. Beberapa kendaraan masih berseliweran. Sejumlah pedagang rokok masih membuka kiosnya di sudut-sudut jalan di kota. Tapi melihat tentara bersenjata lengkap datang bergerombol mereka segera bersembunyi. Tentara itu menyuruh warga sipil segera menyingkir karena akan ada “perang.”
Sebagian tentara memblokir jalan yang menghubungkan Polres Binjai dengan markas Brimob Binjai, yang terpisah sekitar empat kilometer. Brimob Binjai merupakan markas Kompi IV Batalyon A Satuan Brigade Mobil Sumatera Utara. Markas mereka terletak di jalan utama yang menghubungkan Binjai dan Medan. Logika para tentara yang memblokir itu adalah kemungkinan datangnya bantuan dari Brimob bila sesama polisi diserang di Polres Binjai.
Polres Binjai adalah sasaran utama mereka. Seratusan tentara Linud bergerak menyebar. Mereka mengendap dan bertiarap di balik pot-pot bunga pinggir jalan sekitar Polres Binjai. Moncong senjata diarahkan ke markas polisi yang letaknya agak masuk ke dalam. Markas polisi itu gelap. Polisi sudah tahu akan ada penyerangan dan bersembunyi dalam markas. Jumlah mereka 50-an orang.
Seorang tentara melepaskan tembakan cahaya merah ke langit sebagai tanda. Suara ledakan dari senjata pelontar membuka tembakan pertama, menghantam atap markas polisi. Penyerangan dimulai. Tentara Linud 100 menembaki markas dari luar. Peluru-peluru berhamburan seperti siraman air, menghantam tembok, papan nama dan apa saja yang ada dalam kantor polisi itu. Kaca jendela berpecahan. Sejumlah polisi sempat membalas tembakan dengan pistol sebelum kucar-kacir melarikan diri.
Di kegelapan, Amru melihat teman-temannya menembaki markas polisi yang terpaut 30 meter dari tempat mereka tiarap. Amru terdorong ikut menembak. Satu, dua tiga, empat peluru berentetan ke luar dari moncong senjatanya. Tak ada seorang pun polisi yang tampak, maka bangunan kantor menjadi sasarannya.
MEDAN dan sekitarnya. Perintah siaga diumumkan di seluruh radio panggil polisi malam itu. Pesannya singkat, “Polres Binjai diserang Linud.” Di markas besar Brigade Mobil, Jalan Wahid Hasyim, Medan, puluhan pasukan Brimob siap sedia. Ada permintaan bantuan pasukan dari Polres Binjai.
Bantuan pertama datang dari Brimob Kompi IV Batalyon A Binjai. Pukul 23:40 iring-iringan truk dan mobil Suzuki Jimny yang membawa belasan pasukan Brimob meluncur ke arah Polres Binjai. Markas Brimob Kompi IV cuma berjarak satu kilometer dari bundaran tempat tentara Linud berjaga-jaga sejak awal.
Maka kontak senjata pertama antara kedua pasukan tak terhindarkan. Pertempuran itu tak berimbang. Tentara Linud di sekitaran bundaran tugu lebih banyak jumlahnya. Truk Brimob menjadi bulan-bulanan peluru.
Dalam truk Brimob, Inspektur Dua Tito Yudha Darma, yang duduk di bagian depan terluka parah. Menyusul tumbang Bharada Heri Kurniawan dan Brigadir Satu Ilham terkena terjangan peluru. Truk Brimob itu pun melarikan diri.
Pada pukul 24:00 iring-iringan Suzuki Katana, truk Dyna, dan mobil APC (armed personnel carrier) atau mobil anti peluru yang membawa pasukan Brimob keluar dari Medan menuju Binjai. Di atas truk Dyna terdapat 17 pasukan Brimob. Inspektur Dua Hardy Chaniago, wakil komandan Brimob Kompi I Bataliyon A, mendapat telepon dari atasannya. Mereka diperintahkan untuk mengevakuasi pasukan Brimob yang kabarnya ditembaki tentara Linud. Chaniago duduk di bagian depan truk bersama supirnya Bharada Marwin Santosa.
Marwin membawa truk itu kencang melaju ke arah Binjai. Jalan Medan-Binjai terlihat sepi. “Pelan-pelan sedikit. Kalau dihadang kita cepat berhenti,” kata Chaniago.
Melewati daerah Diski, saat melintasi tugu ucapan “selamat datang” kota Binjai, ada tumpukan warga berdiri berkelompok di pinggiran jalan. Mereka berteriak-teriak, melambaikan tangannya minta truk berhenti. “Berhenti. Berhenti. Jangan masuk. Ada perang.”
Truk terus melaju. Mobil Suzuki Katana, yang membawa tiga orang Brimob, sudah tak tampak karena berangkat lebih cepat dari mereka. Satu kilometer menjelang markas Brimob Binjai, Chaniago berkata, “Marwin, kita masuk ke batalyon.”
“Ya, Dan.” Marwin segera memindahkan kaki ke pedal rem untuk memperlambat laju truk. “Dan” singkatan kata “komandan” –sesuatu yang lazim di kalangan polisi dan tentara Indonesia.
Di depan mereka, markas Kompi IV Batalyon A Brimob Sumatera Utara, dalam keadaan terang-berderang oleh lampu sorot yang ada di beberapa sudut halaman. Markas itu dikelilingi lapangan luas. Hanya bangunan kantor dan masjid kecil tampak depan markas. Rumah-rumah prajurit berada jauh di belakang. Di depan markas, rumah penduduk berderet rapat. Jalan Medan-Binjai di depan markas, membentang selebar 10 meter dipisahkan median jalan berupa tembok setinggi setengah meter.
Malam itu cuma ada satu pleton minus atau sekitar 20-an pasukan Brimob di markas Kompi IV. Kebanyakan pasukan sedang latihan di Sibolangit untuk persiapan operasi ke Aceh. Maka ketika markas ditembaki, sebagian besar Brimob memilih bersembunyi.
Rumah penduduk dan jalan depan markas tampak gelap ketika truk Dyna mendekati markas. Tak ada yang mencurigakan. Tapi mendadak rentetan tembakan terdengar keras. Tentara-tentara Linud ternyata bersembunyi di balik tembok median jalan. Mereka menghujani truk dengan tembakan.
“Rem Win!” teriak Chaniago.
Marwin diam tak bergerak. Kepalanya tertunduk ke arah stir truk. Truk terus melaju. Chaniago segera mengambil alih stir dan membanting arah ke kiri sehingga truk naik ke trotoar dan berhenti melintang menutup setengah badan jalan. Tak jauh dari situ, teronggok Suzuki Katana yang tadi pergi mendahului mereka juga. Tiga orang Brimob di dalamnya sudah lari menyelamatkan diri karena ditembaki tentara Linud.
Chaniago masih berusaha menarik Marwin. Tembakan terdengar lagi. Waktu itulah Chaniago sadar, kepala Marwin ditembus peluru. Darah membasahi wajah anggota Brimob yang baru berumur 23 tahun itu. Marwin tewas seketika.
Di bak belakang truk, jerit kesakitan mulai terdengar. “Tolong, Dan. Saya kena.” Dua belas anak buah Chaniago terkena tembakan.
Panik. Tak sempat membalas tembakan. Gaduh. Antara teriakan dan rentetan senjata. Chaniago berteriak, “Loncat kalian semua!”
Di seberang jalan, sambil terus menembak, tentara-tentara dari kesatuan Linud berkoar menantang, ”Ayo balas tembakan kami.”
Mereka sudah berdiri dan berjalan ke sana kemari sambil terus menembak. Para anggota Brimob berloncatan ke samping truk. Mereka merayap menghindari tembakan. “Cari perlindungan,” kata Chaniago.
Semua turun, masuk ke dalam markas Brimob, kecuali Marwin yang tinggal tanpa nyawa dalam kabin truk Dyna.
POLRES Binjai. Penyerangan berlangsung tanpa perlawanan. Sebagian tentara Linud tak begitu tertarik dengan situasi ini. Seorang tentara memberitahu, ”Aman, tak ada balasan.” Tembakan pun dihentikan. Mereka masuk ke dalam markas polisi. Mengobrak-abrik isi kantor. Membakar sejumlah sepeda motor dan mobil yang diparkir di halaman. Polisi tak tampak lagi. Sebagian bersembunyi dalam kolam ikan. Lainnya lari entah ke mana.
Seorang tentara datang memberi kabar. “Brimob datang dari Medan. Sekarang sedang kontak senjata di tugu.” Tugu ini terletak di tengah kota Binjai tempat terjadinya tembak-menembak pertama antara Linud dan Brimob. Sebagian besar tentara segera bergerak meninggalkan Polres Binjai menuju tugu dengan dua truk Reo. Amru ikut naik Reo bersama kawan-kawannya.
Kontak senjata sengit di tugu sudah terjadi antara pasukan Linud dan pasukan Brimob yang datang dari Medan. Beberapa pasukan Linud sempat terkena tembakan. Pasukan Brimob datang sedengan sebuah panser, yang biasa disebut kendaraan taktis dan disingkat rantis. Panser Brimob ini menembakkan senjata otomatisnya tanpa arah. Kontak senjata antara Brimob dan Linud berlangsung lama.
Amru Daulay mengendap di samping rumah warga dekat markas Brimob melihat panser itu melaju kencang. Senjata otomatis di atas rantis masih terus berbunyi dengan arah tembakan memutar. Peluru rantis itu sebesar jempol kaki. Amru terjatuh dari tembok untuk menghindari peluru rantis yang berterbangan tak tentu arah. Lututnya memar ketika melompati sebuah parit saat hendak membalas tembakan ke arah rantis. Tapi rantis itu telah pergi jauh kembali ke Medan –rupanya tak tahan dengan serangan Linud.
Tak lama sebuah truk Reo datang. Seorang tentara Linud turun dan berteriak, ”Hai, Para. Siapa yang punya golongan darah A?”
Para adalah sandi panggilan untuk anggota Linud. Tampaknya ada tentara yang terluka dan butuh donor darah.
Tak jelas berapa korban jatuh malam itu. Ambulance rumah sakit, yang diminta untuk mengevakuasi pasukan Brimob yang terluka, tak dapat mendekati lokasi pertikaian. Ambulance yang datang dari Medan itu tertahan di simpang jalan masuk markas Arhanud Rudal 11 Binjai, sekitar 500 meter sebelum markas Brimob Binjai.
Di sana sejumlah prajurit Arhanud memblokir jalan, supaya tak ada orang sipil yang mendekati lokasi. Di situ pula sejumlah wartawan media cetak, dotcom, radio dan televisi dari Medan, bertahan sepanjang malam memantau situasi. Keadaan mencekam. Warga yang rumahnya berdekatan dengan markas Brimob tiarap sepanjang malam dalam rumah mereka.
Beberapa mobil warga yang kebetulan melintas dalam kota Binjai ditembaki tentara. Korban sipil pun berjatuhan. Tak ada upaya keras untuk menghentikan aksi brutal pasukan Linud. Amru Daulay sempat mendengar kabar dari temannya, “Sebentar lagi panser yang membawa Pangdam datang. Jangan ditembaki.”
Tapi tak pernah ada Mayor Jenderal M. Idris Gassing datang ke lokasi malam itu. Panser kaveleri yang datang dari Medan hanya melintas begitu saja. Pejabat dari Kodam Bukit Barisan yang turun ke lapangan hanya Asisten Intel Kolonel Iwan Prilianto yang tak mampu berbuat banyak.
Sepanjang malam itu, tembakan terus terjadi. Kalau pun mereka berhenti hanya setengah jam. Tentara Linud duduk-duduk di jalan. Mereka bertahan menguasai kota Binjai hingga Senin pukul 06.30 pagi.
Ketika cuaca mulai terang, tentara Linud melakukan pembersihan lokasi pertempuran. Maka mereka yang tadinya bertahan di jalan, mulai masuk ke markas Brimob. Kantor bagian depan dalam keadaan hancur karena ditembaki dengan senjata otomatis dan senjata berat. Mereka pun membakar kantor berikut kendaraan dalam halaman, termasuk Suzuki Katana dan truk Dyna yang melintang di jalan. Asap hitam tebal mengepul ke langit.
Tentara mulai menyingkir ketika warga mulai ramai keluar rumah pagi itu. Sementara 20-an pasukan Brimob mulai berdatangan dari Medan. “Balik. Orang-orang sudah banyak,” teriak seorang tentara. Mereka secara berkelompok menarik diri dengan jalan kaki. Sesekali mereka melepaskan tembakan.
Pasukan Brimob yang datang dari Medan jalan kaki sambil menyisir jalan menuju markas Brimob Binjai. Mulailah mereka menemukan korban-korban. Tubuh Marwin Santosa ditemukan tergeletak di badan jalan, tak jauh dari truk Dyna yang terbakar. Entah siapa yang menurunkannya. Uang dan telepon selularnya hilang.
Tito Yudha Darma dan Ilham tergeletak tak bernyawa di sebuah jalan kecil di samping markas Brimob. Seorang rekan mereka sempat membawa keduanya yang terluka malam itu ke arah markas. Tapi melihat banyak tentara Linud depan markas, Tito dan Ilham ditinggal pergi, hingga tewas kehabisan darah.
Heri Kurniawan ditemukan di depan Masjid Agung Binjai di sekitaran tugu. Sementara sekitar 20 anggota Brimob yang luka tembak keluar dari tempat persembunyian mereka. Dalam keadaan emosi melihat teman-temannya tewas dan luka, pasukan Brimob menganiaya Prajurit Kepala Purwanto, anggota Arhanud Rudal, yang kebetulan berdiri di jalan ketika Brimob masuk ke Binjai. Purwanto ditembak mati. Purwanto sama sekali tak terlibat dalam penyerangan itu.
Senin pagi itu, ketegangan belum berakhir. Di Polres Binjai yang kosong, puluhan warga menjarah barang-barang berharga milik kantor. Hiruk pikuk. Pintu penjara bobol. Sebanyak 61 tahanan melarikan diri.
Lewat pukul tujuh, kepala Polres Ajun Komisaris Besar Polisi HM Mulyi Karnama memerintahkan anak buahnya mencari perlindungan ke pendopo walikota dekat lapangan Merdeka. Maka bergeraklah 40 polisi ke sana, menyusuri gang-gang sempit belakang rumah penduduk, untuk menghindar dari tentara Linud yang masih bertahan di pusat kota. Mereka dalam keadaan takut. Para polisi itu tak dilatih berperang. Mereka dilatih menghadapi warga sipil. Tak disangka, tentara Linud ternyata ada dekat rumah walikota. Maka mereka pun ditembaki lagi
Dalam panik, sebagian besar polisi terjun ke sungai. Tak ada yang sadar, Brigadir Polisi Ridwan M Hayat dan Brigadir Satu Satria Sembiring, terbawa arus sungai dan tewas.
SABTU 2 November lalu saya menjumpai Sersan Dua Amru Daulay di Detasemen Polisi Militer Medan tempat dia ditahan sejak kerusuhan Binjai. Abdul Rahmat dan Hilman masih di rumah sakit.
Selama masa penyidikan itu, hanya istri, anak dan orangtua, yang boleh datang menjenguk. Hari itu saya datang dengan mengaku sebagai teman istrinya. Secara sembunyi-sembunyi saya mewawancarai Amru Daulay, walau akhirnya ketahuan piket jaga. Buntutnya saya diperiksa provost selama empat jam lebih.
Kesan saya, pria berumur 28 tahun ini, tak terlihat seperti tentara kebanyakan yang bertubuh tinggi dan gagah. Baju yang dipakainya kaos lusuh dan celana panjang coklat. Wajahnya tak begitu bersemangat. Jenggot dan kumisnya tampak sudah lama tak dicukur.
Amru menjalani rutinitas yang membosankan dipenjara. Dia sering suntuk. Dia senang ketika saya beri sebuah majalah. Selama di penjara, dia tak bisa melihat televisi dan membaca suratkabar.
Amru tak tahu bahwa kebanyakan media cetak di Medan dan Jakarta menyebutkan kasus penyerangan malam itu dilatarbelakangi masalah beking obat terlarang. Keterangan resmi dari polisi dan tentara mengatakan tentara Linud 100 berusaha melepaskan temannya yang ditangkap karena kasus obat terlarang. Bukan kasus pengrusakan rumah Great Wall. Abdul Rahmat disebut sebagai “beking Marwan.” Dalam wawancara dengan wartawan pada Minggu pagi, setelah peristiwa penyerangan Polres Binjai, Pangdam Bukit Barisan M Idris Gasing menegaskan, “Biasalah, urusan perut, beking-bekingan.”
Amru sendiri merasa yakin Abdul Rahmat tak terkait masalah beking-bekingan. “Saya kenal baik dengannya. Setahu saya dia tidak seperti itu,” kata Amru.
Kodam Bukit Barisan cenderung tutup mulut dalam kasus yang memalukan institusinya itu. Letnan Kolonel Nurdin Sulistyo mengatakan pada saya, mereka sedang berupaya mendinginkan situasi. “Anggota masih dalam keadaan panas di lapangan. Ada perintah dari atas untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang bisa memicu hal-hal yang tak diinginkan,” jawabnya ketika saya tanya mengapa Mayor Madsuni ditegur Kodam karena wawancaranya dengan media massa terkesan membela anak buahnya.
Madsuni dan kelima perwira kompi Bataliyon Linud sudah dicopot jabatannya bersamaan dengan pemecatan Amru Daulay dan 19 temannya. Para perwira itu ditarik ke Kodam Bukit Barisan tanpa pekerjaan jelas.
Amru mengatakan pada saya, dia tak menduga akan dipecat, “Malam itu ada ratusan anggota Linud yang ikut menyerang. Saya tidak tahu kenapa hanya kami yang ditahan dan dipecat.”
Malam itu Amru merasa tak menembak orang. Dia tak melihat ada korban manusia dekatnya. Dia mengaku hanya menembaki kantor polisi dan panser Brimob. Amru tak bilang siapa temannya yang menembak para korban. “Kami dikambinghitamkan. Mereka yang menembak masih berkeliaran di luar sana.”
Sehari setelah penyerangan, semua prajurit Linud dikumpulkan di aula markas mereka. Ada pemeriksaan oleh tim dari Kodam Bukit Barisan. Prajurit-prajurit yang terlibat penyerangan diminta maju ke depan dan bercerita pengalamannya malam itu.
Prajurit Satu Hermansyah adalah tamtama pertama yang mengakui perbuatannya. Hermansyah anak buah Amru Daulay. Ketika ditanya siapa bintara pertama yang ikut menyerang, Amru tanpa pikir panjang maju ke depan, disaksikan teman-temannya yang terpelongo. Tak banyak prajurit yang mau membuat pengakuan secara berani. Kebanyakan memilih diam.
Rabu 2 Oktober itu, ketika Amru dan seluruh pasukan berangkat apel, tak sedikitpun terbersit dibenaknya akan dipecat dengan tidak hormat dari kesatuan Linud 100. Amru Daulay dan 19 prajurit Linud yang membuat pengakuan, termasuk Abdul Rahmat dan Hilman yang luka tembak, dipecat langsung oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu. Dari Jakarta terbang langsung ke Medan, Ryacudu mencopot langsung baju dinas mereka. Ryacudu juga membekukan seluruh kegiatan bataliyon selama setahun. Seluruh persenjataannya ditarik ke Kodam Bukit Barisan.
Ryacudu sangat marah dan menganggap penyerangan itu merusak citra Angkatan Darat. Dia menganggap tindakan itu “pengecut.” Dalam apel Ryacudu berpidato, “Apakah kamu tahu bahwa perwira Brimob yang kemarin tertembak adalah anak seorang pejabat TNI AD di Mabes TNI?” Perwira yang dimaksud adalah Inspektur Dua Tito Yudha Darma, putra Kolonel Riswan, kepala perlengkapan Kodam Jakarta Raya. Ryacudu juga marah pada Idris Gassing dan koleganya di Bukit Barisan. “Apa saja kerja Anda di sini hingga terjadi perang? Mengapa sampai ada senjata yang dikeluarkan? Memangnya lagi perang
Idris Gassing memang terkesan tak melakukan upaya apapun malam itu. Menurut Nurdin Sulistyo, Pangdam Gassing sepanjang malam itu ada di markas Kodam Bukit Barisan, tanpa merinci apa saja yang dilakukannya ketika prajurit Linud menyerang polisi. Pada 7 November lalu Gassing juga dicopot dari jabatannya dan dipindahkan ke Jakarta tanpa pekerjaan jelas.
Amru tak pulang lagi ke bataliyon Linud setelah pemecatan. Hari itu juga dia masuk sel tahanan. Di asrama Linud, Nur Asiah, yang tak berjumpa dengan suaminya sejak ulangtahun Ayu Daulay, menangis-nangis ketika tahu suaminya dipenjara.
Menurut Nur Asiah, yang saya temui di asrama Linud, suaminya bilang padanya di penjara, ”Nggak apa-apa, Mak Ayu. Sabar aja. Mungkin sudah garis tangan ayah begini. Ayah salah karena bela teman. Kita jalani dulu prosesnya.”
“Dari kawan-kawannya saya tahu juga. Dia bilang dirinya yang menjadi pemanas kawan-kawannya supaya mau bergerak,” kata Nur.
Di mahkamah militer, 20 anggota Linud itu disidang dalam dua kelompok: kelompok Abdul Rahmat yang terlibat dalam keributan Sabtu malam di Polres Binjai dan kelompok Amru Daulay yang terlibat dalam penyerangan malam kedua.
“Amru itu kebanggaan keluarga kami. Almarhum ayahnya selalu membanggakan Amru pada siapa pun. Suami saya bilang sejak Amru jadi tentara rasanya derajat keluarga kami terangkat. Orang-orang tidak sembarang lagi sama keluarga kami. Kami punya pelindung sekarang,” kata Rosma boru Hasibuan di rumahnya di Limau Sunde.
Rosma menasehati saya, “Kalau ibu punya anak, masukkan dia ke tentara. Dia akan jadi anak berbakti pada ibu.”
Amru memang penurut pada mamaknya. Ketika bujangan hidupnya agak nakal, terkadang ikut teman-temannya mabuk. Tapi Amru berubah total ketika berumah tangga. Apalagi setelah ikut pendidikan lagi untuk syarat naik pangkat jadi sersan. Sebagai seorang sersan dua, gaji Amru Rp 800.000 per bulan setelah dipotong sana-sini. Untuk membeli televisi, kursi tamu dan sepeda motor, Amru minta pada mamaknya.
Tapi Amru tak pernah lupa dengan cita-cita terbesarnya: jadi orang kaya. Tapi dia juga tahu bahwa tak mungkin kaya jika jadi tentara. Takdir memutuskan lain. Amru bukan saja tak jadi kaya tapi dikeluarkan dari ketentaraan. “Kalau saja kawan kami tidak ditembak, mungkin kami tidak akan melakukan penyerangan itu,” katanya.
**Dipublikasikan Majalah PANTAU Jakarta Desember 2002